Jenderal Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia yang memerintah selama lebih dari tiga dekade, dari 1967 hingga 1998. Kepemimpinannya yang panjang dan penuh kontroversi menjadikannya salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Di bawah rezim Soeharto, Indonesia mengalami transformasi besar dalam berbagai aspek, mulai dari pembangunan ekonomi hingga perubahan sosial dan politik. Namun, pemerintahan Soeharto juga diwarnai oleh pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan pemberangusan kebebasan politik, yang akhirnya memicu kejatuhannya pada 1998.
Awal Kehidupan dan Karier Militer
Soeharto lahir pada 8 Juni 1921 di Kemusuk, Yogyakarta, dalam sebuah keluarga sederhana. Ayahnya, Sosroningrat, adalah seorang petani, sementara ibunya, Sukirah, adalah seorang ibu rumah tangga yang mendukung pendidikan anak-anaknya. Soeharto masuk sekolah dan pada usia muda bergabung dengan tentara kolonial Belanda selama masa penjajahan Jepang di Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), Soeharto terlibat dalam organisasi-organisasi militer Jepang, seperti Pembela Tanah Air (Peta), yang kelak menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Soeharto bergabung dengan TNI dan mulai meniti kariernya di dunia militer. Ia berperan aktif dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan Belanda, khususnya dalam pertempuran di daerah Yogyakarta.
Selama periode Revolusi Nasional, Soeharto memperlihatkan kepemimpinan yang kuat dalam melawan agresi Belanda. Karier militer Soeharto berkembang pesat, dan ia meraih pangkat tinggi dalam TNI, termasuk Komandan Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada tahun 1965. Pengalamannya dalam dunia militer ini menjadi landasan yang penting bagi kebijakan politik dan kepemimpinan Soeharto di masa depan.
Puncak Karier dan Pengambilalihan Kekuasaan
Puncak karier Soeharto sebagai pemimpin negara dimulai setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965. G30S adalah sebuah upaya kudeta yang melibatkan sejumlah perwira militer yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang menyebabkan pembunuhan terhadap enam jenderal dan satu perwira tinggi TNI. Meskipun peristiwa ini disusupi oleh berbagai teori konspirasi, yang pasti adalah bahwa G30S menciptakan kekosongan kekuasaan dan ketidakstabilan politik yang parah di Indonesia.
Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Komandan Kostrad, segera mengambil tindakan untuk menanggulangi situasi tersebut. Dalam beberapa hari setelah terjadinya G30S, Soeharto berhasil memimpin operasi militer yang mengakhiri ancaman kudeta dan menanggulangi kekacauan. Pada 11 Maret 1966, Soeharto mendapat surat perintah dari Presiden Sukarno yang memberikan kewenangan penuh kepada dirinya untuk mengambil alih kendali pemerintahan, yang dikenal dengan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Langkah ini menandai awal dari berakhirnya pemerintahan Sukarno dan dimulainya era Orde Baru.
Pada 1967, Soeharto secara resmi dilantik sebagai Presiden Indonesia, menggantikan Sukarno. Meskipun Soeharto tetap mempertahankan beberapa simbol-simbol pemerintahan Sukarno, ia secara efektif memulai era baru yang dikenal sebagai Orde Baru.
Era Orde Baru: Pembangunan dan Stabilitas Politik
Soeharto memimpin Indonesia dalam periode yang panjang dengan fokus utama pada pembangunan ekonomi dan stabilitas politik. Ia mengimplementasikan kebijakan ekonomi yang disebut Pembangunan Lima Tahun (Pelita) yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Selama masa pemerintahan Orde Baru, Indonesia mengalami transformasi ekonomi yang signifikan. Negara yang sebelumnya dilanda krisis ekonomi dan ketidakstabilan politik berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Infrastruktur dibangun, industri berkembang, dan sektor pertanian serta ekspor meningkat pesat. Program-program pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan juga memberikan dampak positif bagi kemajuan sosial masyarakat Indonesia.
Namun, di balik kemajuan ekonomi yang signifikan, pemerintahan Soeharto juga dipenuhi dengan kontroversi. Korupsi merajalela di tingkat pemerintahan, dan sebagian besar kekayaan negara jatuh ke tangan segelintir orang yang dekat dengan Soeharto, termasuk keluarga dan kroninya. Selama bertahun-tahun, Soeharto dan keluarganya memiliki pengaruh yang besar dalam ekonomi Indonesia, yang sering kali diwarnai dengan penyalahgunaan kekuasaan.
Selain itu, kebebasan politik di bawah pemerintahan Orde Baru sangat terbatas. Partai-partai politik selain Golkar (partai yang didirikan oleh Soeharto) tidak diberikan ruang untuk berkembang, dan oposisi terhadap pemerintahan dianggap sebagai ancaman. Kritik terhadap pemerintah sering kali berujung pada penangkapan, penyiksaan, atau bahkan pembunuhan, seperti yang terjadi pada peristiwa Tragedi 1965 di mana ribuan orang yang diduga terlibat dengan PKI dibunuh tanpa proses hukum yang jelas.
Krisis Ekonomi dan Kejatuhan Soeharto
Pada 1997-1998, Indonesia terjangkit krisis ekonomi yang parah akibat krisis finansial Asia. Nilai tukar rupiah merosot drastis, dan inflasi serta pengangguran meningkat tajam. Krisis ekonomi ini memperburuk ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Soeharto, yang sudah lama dinilai otoriter dan penuh dengan korupsi. Demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai kota, dengan tuntutan agar Soeharto mundur dari jabatannya.
Pada Mei 1998, situasi politik semakin memburuk dengan protes besar-besaran yang melibatkan mahasiswa dan masyarakat luas. Soeharto, yang pada awalnya berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya, akhirnya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 setelah tekanan yang luar biasa dari rakyat, militer, dan politisi. Posisinya digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie.
Warisan dan Kontroversi
Setelah turun dari kekuasaan, Soeharto menghabiskan sisa hidupnya dengan kehidupan yang relatif tenang. Ia menjalani masa pensiun di Cendana, Jakarta, hingga meninggal pada 27 Januari 2008. Meskipun kejatuhannya diwarnai dengan tuntutan hukum atas dugaan korupsi, Soeharto tetap dianggap oleh sebagian kalangan sebagai pahlawan yang membawa Indonesia menuju stabilitas dan kemajuan ekonomi. Namun, banyak juga yang mengkritik masa pemerintahannya sebagai era otoritarian yang mengekang kebebasan individu dan melanggar hak asasi manusia.
Dalam banyak hal, Soeharto dipandang sebagai tokoh yang mengubah wajah Indonesia. Ia berhasil membangun infrastruktur, memperbaiki perekonomian, dan membawa Indonesia ke kancah internasional sebagai negara yang kuat dan berdaulat. Namun, di sisi lain, masa pemerintahannya diwarnai dengan ketidakadilan, ketidaksetaraan sosial, dan pengekangan kebebasan politik.
Soeharto tetap menjadi salah satu tokoh paling kontroversial dalam sejarah Indonesia. Bagi sebagian orang, ia adalah pemimpin yang berhasil membawa Indonesia menuju kemajuan, sementara bagi yang lain, ia adalah simbol kekuasaan otoriter yang menindas kebebasan dan merugikan rakyat.
Kesimpulan
Soeharto adalah sosok yang tak bisa dilepaskan dari sejarah Indonesia modern. Meskipun masa pemerintahannya penuh dengan keberhasilan dalam pembangunan ekonomi dan stabilitas, ia juga meninggalkan warisan yang kontroversial, baik dalam hal korupsi maupun pelanggaran hak asasi manusia. Sejarah kepemimpinan Soeharto, baik yang dilihat dengan kacamata positif maupun negatif, memberikan pelajaran penting tentang kekuasaan, pemerintahan, dan peran negara dalam mewujudkan kemajuan rakyat.